PENDAHULUAN
Krisis multidimensi yang melanda negeri ini ternyata tidak hanya bisa diselesaikan oleh letupan politik pada tahun 98 lalu. Jatuhnya presiden Suharto, bukanlah jaminan bagi terciptanya kesejahteraan umum yang dicita-citakan oleh konstitusi kita sebagai tujuan bernegara. Tidak terwujudnya kesejahteraan itu, sejatinya karena tidak sejalannya logika politik ( elit dan kekuasaan) dengan logika sosial ( masyarakat dan kesejahteraan ). Di Indonesia dua hal ini terkesan sulit untuk disatukan, aspek politik terus berjalan dengan sangat cepat menggunakan logikanya sendiri dilain sisi persoalan sosial berada dalam ruang yang lain yang sama sekali tidak terjamah oleh kebijakan politik.
Disparitas itu semakin dipertajam oleh kelemahan kita sebagai bangsa dalam mempertahankan kedaulatan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik kedaulatan sebagai warga negara Republik Indonesia ( Internal ) ataupun sebagai bangsa indonesia yang termasuk kedalam masyarakat dunia ( Eksternal ). Persoalan kesejahteraan masyarakat indonesia pasca krisis politik lalu seharusnya menjadi tema sentral pembangunan bangsa karena hanya dengan hal itu bangsa ini akan dihargai oleh bangsa-bangsa lain didunia. Hari ini kita menemukan beberapa kali peristiwa yang memilukan berkaitan dengan berulang kali nya politik luar negeri indonesia memunculkan ”kontroversi” ( untuk tidak menyebut kalah diplomasi ) pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebut saja kasus hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan sebagai kedaulatan wilayah kita dan sengketa blok Ambalat yang mempertegas lemahnya diplomasi pemerintah, selain itu ada banyak lagi persoalan lain termasuk masalah nasib TKI diluar negeri dan arah atau sikap politik luar negeri indonesia dalam mencermati perkembangan politik internasional.
Semuanya itu pada dasarnya bermuara pada kemampuan bangsa ini mengelola Ketahanan Nasional yang lebih baik, yang mampu mengkonsolidasikan seluruh komponen bangsa sehingga mampu mensejajarkan martabat bangsa ditengah percaturan global. Ancaman nir-militer justru saat ini menjadi tema dan persoalan yang harus segera diselesaikan untuk menunjang persiapan kita dalam menghadapi ancaman militer.
Aspek politik dalam negeri harus segera kondusif untuk menunjang sektor ekonomi yang semakin hari semakin tidak ramah terhadap kehidupan masyarakat. Dalam konteks ekonomi, indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang saat ini menjadi tren ekonomi dunia ( Neo-Liberalisme), karena itu kondisi ekonomi dalam negeri tidak dapat dilepaskan dari pengaruh negara-negara besar (donor) yang terkesan sukarela dalam menyumbangkan dana segarnya untuk pembangunan di Indonesia, padahal negeri ini menjadi bangkrut karena ulah mereka juga yang berpura-pura baik memberikan bantuan, justru dibalik itu semua terdapat jurang yang sangat besar dan terbukti bangsa ini terpuruk jatuh kedalam lubang itu.
Dalam aspek budaya dan pendidikan, justru hari ini kita berhadapan pada budaya bangsa yang kian lama kian rapuh. Betapa mudahnya terinfiltrasi oleh budaya asing yang begitu kuat inluence-nya. Mengapa budaya asing yang hedonistik mudah masuk kedalam sistem ketahanan budaya kita? Padahal cara hidup hedonistik sangat bertentangan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dianut dalam sistem budaya kita. Jika kita lihat lebih holistik akan memunculkan kesan bahwa ada skenario global yang akan menegasikan batas-batas geografis, budaya, agama dll. untuk kepentingan mainstream tertentu yang sedang mengendalikan supremasi politik dunia.
Begitupun dengan kondisi pendidikan nasional, saat ini kita masih belum mampu menjawab tantangan sumber daya manusia seluruhnya secara utuh. Hal ini memang bisa jadi disebabkan disparitas ekonomi yang begitu jauh sehingga tingkat pendidikan ditengah masyarakat kita juga mengalami hal yang serupa. Penulis sangat sepakat jika dikatakan sumber daya manusia Indonesia memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi tetapi mengapa wajah sebagian besar bangsa ini masih teringgal dalam hal kapasitas intelektual. Hal ini disadari atau tidak sangat berpengaruh terhadap lambat atau cepatnya pembangunan nasional.
Berbagai persoalan kebangsaan diatas sangat mudah kita desripsikan. Hampir seluruhnya bermuara pada kemampuan bangsa ini mengelola ketahanan nasionalnya. Telah kita pahami bersama bahwa hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan kesemuanya bisa datang dari mana saja, bukan hanya dari aspek militer. Oleh karena itu ketahanan nasional kita juga harus lebih serius kita aplikasikan dalam bentuk ketahanan budaya, sosial, pangan, energi, ekonomi, hukum, politik dan lain sebagainya.
Oleh karena itu segala usaha untuk menuju kearah sana harus bertolak dari wawasan kebangsaan yang telah disepakati bersama oleh para founding father Republik Indonesia. Didasari kondisi mendesak yang memerlukan penanganan serius dalam jangka waktu segera yang memiliki visi masa depan, maka pada akhir tahun 2005 dicetuskan konsep visi Muslim Negarawan dalam tubuh kaderisasi KAMMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia ).
Tentunya istilah muslim negarawan bukanlah hal yang baru dan asing, tetapi istlah ini menjadi amat penting jika kita masukkan visi itu dalam gerakan KAMMI dengan segala ke-khas-annya.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia memiliki usia yang seumur dengan momentum reformasi tahun 1998. Menurut Eep Saefullah Fatah, KAMMI adalah organ gerakan mahasiswa yang paling siap kala itu dalam menjatuhkan Suharto karena basis jaringannya yang kuat dan mengakar hampir diseluruh kampus diIndonesia. Oleh karena itu kelahiran KAMMI tidak terlepas dari gerakan dakwah islam yang tumbuh subur dikampus-kampus negeri awal tahun 80an.
Publik kampus cenderung menamakan gerakan dakwah ini sebagai jamaah tarbiyah, karena aktifitas utama gerakan itu adalah Tarbiyah (istilah arab artinya mendidik atau membina). Ciri khas lain dari gerakan ini saat itu adalah gerakan ini banyak terinspirasi oleh pemikiran para pemikir islam kontemporer seperti Hasan albana, Sayyid Qutb, Yusuf Qordhowi dan lain sebagainya. Kemudian dalam tataran praksis gerakan ini cenderung laten dan underground, karena kondisi aktual saat itu rezim otoriter Orba tidak membolehkan ideologi lain selain pancasila bahkan penerapan pancasila saat itu cenderung represif. Kondisi ini memaksa para akifisnya masuk dalam ”laku sunyi” yang jauh dari hingar bingar kehidupan sosial apalagi politik.
Masa itu berlangsung hampir 20 tahun lamanya hingga negeri ini mengalami krisis ekonomi yang berakibat pada lengsernya Suharto dari kursi kepresidenan tahun 1998. KAMMI pada kelahirannya secara tehnis digagas pada Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus Nasional (FSLDK Nasional) di malang pada bulan april 1998. Beberapa aktifisnya berkeinginan untuk berbuat yang lebih banyak terhadap negeri yang subur makmur ini, untuk itu beberapa aktifis dengan menggunakan jaringan LDK yang telah mapan menggagas berdirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dengan didasari keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi aktual bangsa Indonesia saat itu. Oleh karena itu KAMMI memposisikan dirinya tidak terpisahkan dari rakyat karena memang secara tidak langsung lahir dari rahim masyarakat, saat itu pula KAMMI mendefinisikan dirinya sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang bergerak dan berkonsentrasi pada bidang kepemudaan dan mahasiswa sebagai lahan garapnya.
Melihat akar historis gerakan KAMMI maka muncul pertanyaan bagaimana posisi Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam tubuh gerakan KAMMI ? mengingat banyak aktifis gerakan ini yang terinspirasi oleh ideologi Islam yang cenderung trans-nasionalisme, atau bagaimana peran kader KAMMI dalam mengisi pembangunan nasional serta upaya dalam mendukung ketahanan nasional?
Disinilah letak pentingnya kita melacak secara objektif mengenai konsep gerakan KAMMI yang memiliki visi Muslim Negarawan yang berwawasan ke-Indonesiaan.
-Fikry Aziz-